Sebuah Renungan Headline Animator

31 Juli 2009

Achmad Subagio 'Anak Singkong' Penemu Tepung Singkong

CALON PRESIDEN BERKATA, 'MENGAPA KITA REPOT-REPOT MEMIKIRKAN SINGKONG? KITA KAN PUNYA UANG, IMPOR SAJA.'

Dr Achmad Subagio MAgr menceritakan pengalaman mendapat cibiran itu dari calon presiden pada pemilihan umum 2004 itu kepada Trubus. Saat itu ia diundang untuk mempresentasikan teknologi produksi mocaf. Usai presentasi tentang mocaf, calon presiden itu berkomentar seperti di atas. Bukan hanya dari calon presiden, cibiran itu juga datang dari beberapa rekan dosen di Universitas Jember, tempat ia mengajar. 'Singkong murah kok diurusi. Untuk apa dosen mengurusi singkong?' hanya beberapa pernyataan miring itu.


Namun, doktor Kimia Pangan itu tak hirau. Ia terus meriset ubikayu menjadi tepung, tetapi tanpa aroma dan rasa singkong. Produk itu kini sohor sebagai modified cassava flour (mocaf). Dosen berusia 40 tahun itu menempuh jalan berliku untuk menghasilkan tepung ubikayu tanpa aroma singkong. 

Pada riset itu, mula-mula ia memfermentasi singkong segar. Sayang durasinya sangat lama, 3 pekan. 'Karena fermentasinya spontan, jadi mikroba yang tumbuh tidak jelas,' ujar kelahiran Kediri, Jawa Timur, 17 Mei 1969 itu. Inspirasi datang dari gatot, penganan tradisional yang juga berbahan baku singkong. Dalam proses pembuatannya, gatot pun mengalami fermentasi.

Pada 2005-setelah setahun meriset-Subagio mengisolasi bakteri asam laktat dari penganan yang lazim dinikmati bersama parutan kelapa itu. Sayang, Subagio menolak menyebut spesies bakteri itu. Dengan bakteri asam laktat, proses fermentasi lebih singkat, hanya 8-10 jam (baca: Tepung dari Bawah Tanah, halaman 20). Proses fermentasi bertujuan menutupi aroma dan rasa singkong.

Selain itu fermentasi juga menghancurkan selulosa menjadi tepung bertekstur halus. Menurut Subagio bakteri asam laktat mampu mendegradasi selulosa dan melubangi dinding granula pati. Selulosa harus dipecah karena pati terbungkus selulosa. Jika selulosa tidak dipecah maka hanya dihasilkan tepung gaplek, bukan tepung mocaf.

Salah satu perbedaan antara tepung gaplek dan tepung mocaf adalah pada tingkat viskositas atau kekentalan. Viskositas tepung gaplek sangat rendah. Pada suhu 95oC dengan konsentrasi 2%, viskositas tepung gaplek hanya 45 mPa.S (1 Poise = 100 cP atau centiPoise, 1cP = 1 mPa.S). Bandingkan dengan viskositas tepung mocaf yang mencapai 75 mPa.S dan terigu 65 mPa.S. Jika viskositas rendah, maka tepung tidak lengket ketika diberi air.

Meski bakteri asam laktat mampu memecahkan selulosa singkong, tetapi dinding selulosa masih sedikit menempel pada pati. Dampaknya viskositas tepung mocaf tidak setinggi tepung tapioka. Tapioka hanya terdiri sari pati sehingga sangat kental. Selain memecah selulosa, bakteri asam laktat juga memodifikasi granular pati yang halus menjadi berlubang-lubang.

Lubang-lubang itu memperkuat ikatan antarbutiran sehingga adonan tidak gampang terputus. Dengan karakteristik itu, tepung singkong itu mirip terigu. Dalam pembuatan beragam penganan, mocaf alias modifikasi tepung singkong mampu menggantikan terigu yang masih diimpor.

Pengolahan umbi Manihot esculenta menjadi tepung tanpa aroma dan rasa singkong itu merupakan penemuan pertama di dunia. Subagio memberi nama temuannya itu mocal, pemendekan dari modified cassava flour. Dalam bahasa Jawa, mokal berarti tak mungkin. 'Tetapi saya berkeyakinan bahwa ini (produksi tepung singkong modifikasi, red) mungkin,' kata dosen Teknologi Pangan itu. Nama mocal kemudian ia ubah menjadi mocaf.

Teknologi hasil temuan Subagio itu kini menyebar ke berbagai daerah seperti Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur, Pati (Jawa Tengah), dan Ciamis (Jawa Barat). Temuan itu mengangkat pamor singkong yang selama ini dikenal sebagai komoditas inferior atau komoditas orang miskin. 'Dengan bentuk tepung, rasa, dan aroma yang lebih netral produk ini sangat fleksibel untuk diolah menjadi apa saja,' kata Subagio.

Gagasan mengolah singkong menjadi tepung modifikasi terlintas ketika Subagio mengikuti program jejaring kerja sama antaruniversitas Asia-Eropa di Belanda dan Inggris. Program berlangsung pada 1 April-30 Juni 2004. Ia mengunjungi antara lain Avebe Corp di Kota Veendam, Belanda, yang mengolah kentang menjadi beragam produk seperti penganan, kosmetik, dan bahan pencampur cat.

'Pikiran saya adalah bila Belanda mempunyai kentang, lalu Indonesia apa? Saat itu pula terlintas semua potensi alam Indonesia, mulai singkong, ubijalar, sagu sampai ganyong,' kata alumnus Osaka Prefecture University itu. Di antara potensi komoditas-komoditas itu yang paling mudah dikembangkan menjadi industri adalah singkong.

Usai menemukan teknologi produksi mocaf, Subagio kerap diundang untuk berbicara tentang tepung singkong. 'Sudah 5 tahun ini, hidup saya selalu berkaitan dengan mocaf.' kata Subagio. Ia memang seperti ditakdirkan untuk menggeluti singkong.

Ayahnya adalah pekebun singkong yang juga produsen tapioka dan gethuk lindri, penganan yang terbuat dari singkong. Ketika kecil, Subagio membantu pembuatan gethuk lindri dengan menyeleksi bahan baku. Kini ia berharap mocaf mampu mengatasi masalah pangan dan kemiskinan serta memberikan kesejahteraan masyarakat.

Sumber : http://www.trubus-online.co.id

Selengkapnya...

Umbi Jadi Tepung


Caranya :

1. Kupas singkong dengan pisau
2. Cuci dengan air bersih
3. Masukkan singkong ke mesin pengiris agar berketebalan 1-1,5 mm.
4. Irisan singkong dimasukkan ke karung dan ikat ujungnya.


5. Perendaman dalam air bersih ditambahkan senyawa aktif A dan B selama 8-10 jam. Lalu rendam dalam senyawa aktif C selama 10 menit
6. Tiga enzim yang digunakan dalam pembuatan mocaf
7. Tiriskan untuk mengurangi kadar air
8. Keringkan di bawah sinar matahari.
9. Masukkan ke mesin penepung agar menjadi bubuk.

Sumber : http://www.trubus-online.co.id

Selengkapnya...

Olah Tapioka Jadi Dekstrin


Caranya :

1. Sebanyak 250 kg tepung tapioka dimasukkan ke alat gelatinisasi. Tambahkan air sebanyak 40% dan diaduk dengan kecepatan 40-50 rpm. Proses itu sekaligus pemanasan dengan suhu 90-100oC selama 1 jam. Alat berdiameter 78 cm dan tinggi 2 meter dengan kaki.



2. Proses berikutnya hidrolisis dengan menambahkan 10 ml asam khlorida berkonsentrasi 32%. Asam itu diencerkan dengan 4 liter air, diaduk selama 2-3 jam dengan kecepatan 40-50 rpm sehingga menghasilkan pH 6-7.
3. Proses hidrolisis juga bisa dilakukan dengan menambahkan enzim alfa amilase sebanyak 0,1% dengan pengadukan selama 2-3 jam. Hasil yang diperoleh berupa dekstrin dengan nilai DE 8.
4. Jika menginginkan nilai DE lebih tinggi, hidrolisis dilanjutkan lagi dengan penambahan 1 cc larutan asam klorida dengan waktu pengadukan 2-3 jam berkecepatan 40-50 rpm.
5. Larutan dipindahkan menggunakan pipa ke tabung evaporasi. Di tabung evaporasi, larutan diserap kadar airnya dengan mesin berkekuatan 2,5 PK dan laju aliran 10 liter/30 menit. Jadilah larutan dekstrin.
6. Larutan dekstrin yang kental dibuat menjadi bubuk dengan cara dikeringkan dengan pengering semprot atau spray dryer. Sekali masuk 20-25 liter dekstrin dan menghasilkan 8-10 kg bubuk dekstrin per jam.
Dekstrin yang telah diperoleh diukur kadar DE-nya. Caranya dengan memberi 2 tetes larutan metilen blue pada dekstrin yang telah diberi air. Setelah warna biru terbentuk, larutan dekstrin dititrasi dengan larutan fehling hingga warna biru hilang. Jumlah larutan fehling yang digunakan untuk menghilangkan menjadi dasar penentuan DE.

Sumber : http://www.trubus-online.co.id

Selengkapnya...

Tepung dari Bawah Tanah

RINI TRIDANARSIH PENASARAN DAN BERGEGAS PULANG KETIKA REKANNYA MEMBERI SEKANTONG TEPUNG. DI BENAKNYA BERKECAMUK PERTANYAAN: BENARKAH TEPUNG SINGKONG YANG IA PEROLEH ITU DAPAT MENGGANTIKAN TERIGU SEPERTI PENJELASAN TEMANNYA?


Pengusaha aneka penganan di Desa Tanjungsari, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu mengolah tepung untuk menggoreng pisang. Hasilnya, persis seperti gorengan dengan terigu: renyah dan enak. Rini Tridanarsih amat terkesan dengan hasil itu. Oleh karena itu ia membuat cake dan bolu kukus dengan tepung singkong. Hasilnya kembali membuat Rini takjub, penampilan cake tidak kalah dengan cake berbahan baku terigu alias tepung gandum.

Bahkan citarasanya lebih lembut dan empuk saat digigit. Tepung singkong yang digunakan Rini itu disebut mocaf-modified cassava flour alias tepung singkong yang dimodifikasi. Yang memodifikasi tepung itu adalah bakteri asam laktat berukuran amat mungil: sebutir debu dibagi 100. Namun, berkat jasa baik bakteri itulah umbi singkong berubah menjadi tepung bercitarasa tinggi.

Dua Tahap


Bakteri asam laktat 'merusak' granula pati dan dinding sel umbi singkong. Perusakan itu justru berdampak baik lantaran mengubah struktur sel dan karakteristik singkong. Setelah 8 jam fermentasi, singkong yang semula berbau tajam berubah struktur, kekentalan, dan daya rehidrasi. Tepung yang dihasilkan pun mudah larut. 'Citarasa menjadi netral-bau dan rasa singkong hilang sampai 70%,' kata Dr Achmad Subagio, peneliti tepung mocaf dari Universitas Jember, Jawa Timur.

Menurut Subagio semua jenis singkong dapat diolah menjadi mocaf. Namun, yang terbaik singkong berasam sianida rendah, kurang dari 1%. Sianida menyebabkan rasa pahit. Jika kadar sianida rendah, mudah dibuang saat proses fermentasi sehingga citarasa pahit pada tepung tidak terlalu kuat. Berdasarkan hasil penelitian Achmad, tepung modifikasi terbaik dihasilkan dari umbi singkong berumur 8-12 bulan.

Tepung terbaik juga dihasilkan dari singkong tanpa bercak hitam. Sebab, kerusakan itu mengurangi derajat keputihan tepung. Umur singkong sangat menentukan rendemen dan kualitas tepung. Rendemen singkong muda, amat rendah dan sebaliknya. Itu karena bobot kering singkong juga rendah. Singkong yang terlalu tua rendemen relatif lebih tinggi, tetapi viskositas tepung yang dihasilkan sangat kental. Sebab, kadar pati singkong tua lebih tinggi.

Setelah dicuci dan diiris setebal 1-1,5 mm, singkong dimasukkan ke dalam karung. Bobot sebuah karung 20-25 kg. Kantong plastik transparan juga dapat digunakan sebagai wadah, tetapi harus berlubang. Lubangi permukaan plastik dengan ujung paku yang dibakar. Tujuan lubang itu agar seluruh permukaan singkong terendam dalam larutan bakteri asam laktat selama fermentasi berlangsung. Irisan singkong direndam dalam air yang telah ditambah dengan senyawa aktif A untuk memacu pertumbuhan mikroba.

Pengatur pH


Jika menggunakan 1 m3 air tanah, tambahkan 1 sendok teh senyawa aktif. Jika yang digunakan air gunung, setiap satu meter kubik air itu membutuhkan satu sendok makan senyawa aktif yang berisi mineral, nutrisi, dan pengatur pH agar kurang dari 5.

Bila semua irisan singkong terendam semua, tambahkan senyawa aktif B, yakni starter fermentasi terdiri atas media kultur dan mikroba. Untuk membuat senyawa aktif B, rendamlah 1 ons irisan singkong segar dalam air yang telah dicampur masing-masing 1 sendok teh enzim dan kultur mikroba. Perendaman selama 24-30 jam untuk menghasilkan senyawa aktif B. Senyawa aktif B dapat digunakan sekaligus untuk 1 m3 air. Lama perendaman 8-10 jam.

Irisan singkong kemudian dipindahkan ke larutan C berisi garam dan kapur. Pemindahan itu untuk menaikkan pH sekaligus menghentikan proses fermentasi. Dosis larutan C hanya 1 sendok makan per 1 m3 air. Lama perendaman di larutan C cuma 10 menit. Setelah itu singkong dikeringkan dan digiling.

Tepung hasil penggilingan diayak dengan ukuran minimal 80 mesh. Hasil saringan itu dikemas dengan dua lapisan karung plastik. Para produsen mocaf menggunakan plastik polipropilene (PP) atau polietilene (PE) yang baik, bersih, dan memenuhi syarat ekspor. Tepung itulah yang digunakan oleh para produsen kue dan penganan lain seperti Rini Tridanarsih.

Sumber : http://www.trubus-online.co.id

Selengkapnya...

TEPUNG ANEKA UMBI Sebuah Solusi Ketahanan Pangan

Pangan pokok masyarakat Indonesia berbentuk butiran, yaitu beras dan jagung. Agar menyerupai beras, sebagai pangan pokok maka jagung dibentuk menjadi grits, yaitu butiran kecil hasil pemecahan butir jagung menjadi 6-8 bagian. Orang awam mengenal grits jagung ini sebagai ’Beras jagung’. Beras dikosumsi lebih dari 90 persen populasi, sehingga pemahaman ketahanan pangan seolah-olah identik dengan kecukupan/ketersediaan beras.


Padahal komoditas pangan sumber karbohidrat di negeri ini sangat beragam, baik yang tergolong serealia seperti jagung, sorgum, hanjeli dan hermada, serta aneka umbi seperti ubikayu, ubijalar, talas, gadung, gembili, suweg, iles-iles, kentang, garut dan ganyong (Widowati, 2000). Komoditas sumber karbohidrat harapan yang saat ini sedang dikembangkan, terutama di pulau Buru adalah hotong (Setaria Italica (L) Beauv), jenis serealia dengan penampilan mirip dengan juwawut (Herodian, et.al.,2007).

Kekurangan pangan domestik, lebih sering diatasi secara pintas yaitu dengan impor beras dan gandum. Dampaknya adalah program diversifikasi konsumsi pangan pokok dengan memberdayakan sumber karbohidrat lokal hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sebaliknya konsumsi gandum, dalam bentuk terigu semakin meningkat. Impor biji gandum tahun 1998/1999 masih sebesar 3.1 juta ton (Welirang, 2000) saat ini mencapai 5 juta ton (Khudori, 2008). Konsumsi terigu saat ini diperkirakan 17 kg/kapita/tahun.

Hanya dalam waktu 30 tahun konsumsi terigu meningkat hingga 500%. Indonesia menjadi negara importir gandum keenam terbesar di dunia setelah Brasil, Mesir, Iran, Jepang dan Algeria. Gandum dikonsumsi bukan dalam bentuk butiran, melainkan bentuk tepung.

Keunggulan Tepung
Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air tinggi, seperti aneka umbi dan buah. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi ini mencakup teknik pembuatan sawut/chip/granula/grits, teknik pembuatan tepung, teknik separasi atau ekstraksi, dan pembuatan pati.

Sumber : http://www.sinartani.com
Selengkapnya...

Memperbaharui Penggunaan Benih Unggul Bersertifikat secara Berkelanjutan di Tingkat Petani

Penggunaan benih varietas unggul bersertifikat di tingkat petani perlu terus diperbaharui untuk bisa mempertahankan tingkat produktivitasnya secara berkelanjutan sekaligus guna menghindari munculnya serangan hama penyakit.

Hal itu dikatakan Direktur Perbenihan Ditjen Tanaman Pangan Deptan Rahman Pinem kepada Sinar Tani. Menurutnya, Direktorat Perbenihan memprogramkan secara terus-menerus mengganti benih-benih varietas unggul yang sudah sangat lama digunakan petani. ”Masih banyak petani yang bahkan menggunakan benih tidak bersertifikat secara berulang-ulang sehingga produksinya menurun,” tambahnya.


Caranya adalah dengan memproduksi benih dasar (Foundation Seed) varietas unggul bersertifikat dari benih penjenis (Breedy Seed) yang daya hasilnya lebih tinggi hasil penelitian Badan Litbang Pertanian dan lebih baru di balai benih tingkat propinsi. Selanjutnya, benih dasar tersebut diperbanyak menjadi benih pokok (Stock Seed) di balai-balai benih kabupaten. Benih pokok tersebut lalu diperbanyak para penangkar menjadi benih sebar (Extention Seed) untuk dijual kepada para petani.

”Selain itu, kita mensosialisasikan kepada para petani, penangkar dan pengusaha, pentingnya penggunaan benih varietas unggul bersertifikat berproduktivitas tinggi,” tambahnya.

Dengan cara itu, lanjut Pinem, maka tingkat produktivitas lebih tinggi bisa terus-menerus dapat dicapai dan dijaga ketahanannya dari serangan hama dan penyakit untuk mendukung peningkatan produksi tanaman pangan. ”Jadi, program kita adalah meningkatkan penggunaan varietas-varietas yang berproduktivitas tinggi, yang mempunyai daya adaptasi luas dan umurnya relatif pendek. Itu yang kita utamakan,” jelasnya.

Dengan demikian, secara bertahap, verietas yang produktivitas rendah dan sedang serta berumur panjang, otomatis bisa diganti oleh varietas-varietas yang memiliki potensi produksi tinggi. ”Kalau varietas-varietas yang memiliki produktivitas tinggi ini sudah semakin banyak, otomatis kan bisa mendukung peningkatan produksi pangan nasional,” tegasnya.

Dia mencontohkan, pemerintah telah memprogramkan menggantikan varietas IR 64 yang sudah lama digunakan para petani. Hasilnya, kini varietas Ciherang telah digunakan meluas melebihi penggunaan IR 64. Di beberapa daerah ternyata produktivitas Ciherang memang lebih tinggi dibanding IR 64.

Sumber : http://www.sinartani.com

Selengkapnya...

Mengantisipasi Dampak El-Nino 2009

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakiraan pada bulan Mei 2009 terjadi perubahan dari kondisi netral La-Nina menuju El-Nino. Diprakirakan El-Nino akan terus meningkat intensitasnya dan berlangsung hingga Awal Tahun 2010. Bagaimana cara mengantisipasinya agar produksi padi nasional tidak terkena dampaknya.


Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian Ati Wasiati mengatakan Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana alam yang disebabkan oleh dampak fenomena iklim.

”Variabilitas dan perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global (global warming) akan mengakibatkan risiko yang lebih tinggi, dan diperkirakan sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian di masa yang akan datang,” tambahnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan prakiraan awal musim kemarau (MK) 2009. Bulan Mei, MK telah terjadi di wilayah Bali, NTB, NTT, dan sebagian besar Sumatera dan Jawa. Bulan Juni, diprakirakan MK terjadi di sebagian kecil Sumatera dan Jawa, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi serta sebagian Maluku dan Papua. Bulan Juli diprakirakan MK terjadi di Sulawesi, sebagian kecil Kalimantan dan Papua. Pada bulan Agustus seluruh wilayah Indonesia telah memasuki MK 2009.

Fenomena La-Nina berlangsung hingga bulan Maret 2009, dan menuju Netral pada bulan April 2009. Tetapi pada bulan Mei 2009 terjadi perubahan dari kondisi Netral La-Nina menuju El-Nino. Diprakirakan El-Nino akan terus meningkat intensitasnya dan berlangsung hingga Awal Tahun 2010. Dampak El-Nino Tahun 2009 diprakirakan akan mengurangi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali wilayah Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pengurangan hujan tersebut lebih kecil dibanding wilayah Indonesia lainnya.

Fenomena El-Nino Tahun 2009 yang diprakirakan akan berlangsung hingga awal Tahun 2010 akan mengakibatkan Awal Musim Hujan 2009/2010 di sebagian besar wilayah Indonesia akan mundur.

Mirip Tahun 2006
Tahun 2009 kondisi iklim mirip dengan kejadian tahun 2001 yaitu musim kemarau basah akibat adanya La-Nina lemah. Tahun 2002 La-Nina lemah bergeser ke kondisi netral dan menuju El-Nino lemah, dan menguat pada tahun 2003. Kondisi tersebut berdampak pada terjadinya kekeringan pada tahun 2002 dan 2003.

Sumber : http://www.sinartani.com

Selengkapnya...

Ayam Lokal Indonesia Sangat Berbeda

Dalam pengembangan peternakan unggas, khususnya jenis ayam lokal, Indonesia ternyata memiliki posisi khusus dan peran cukup potensial dalam dunia industri perunggasan global. Hasil suatu penelitian para ilmuwan sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan ayam lokal Indonesia yang kaya keragaman genetik sangat berbeda dengan ayam lokal di negeri dan kawasan lain di dunia.


Hasil penelitian tersebut yang diungkapkan kembali oleh S.Iskandar dan T. Sartika dari Balai Penelitian Ternak, Bogor, telah mengambil kesimpulan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari tiga pusat domestikasi di dunia. Ayam domestikasi di Indonesia berasal dari satu nenek moyang, yakni ayam hutan merah Gallus gallus (red junglefowl).

Dua pusat domestikasi ayam lainnya di dunia ialah Lembah Hindus dan sekitarnya di India, serta kawasan Sungai Kuning di Henan, China.

Penelitian tentang keanekaragaman sumberdaya hayati ayam lokal Indonesia itu dilakukan oleh para ilmuwan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Balai Penelitian Ternak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran, dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian tersebut dengan menggunakan ilmu genetika molekuler, yakni teknologi DNA untuk membedakan berbagai spesies hewan serta hubungan kekeluargaan satu dengan lainnya antara spesies-spesies ayam domestikai (lokal). Cara demikian bisa memberi informasi ilmiah tentang hubungan kekerabatan rumpun ayam maupun nenek moyangnya.

Dalam dunia perunggasan internasional, dari segi nilai ekonomi ayam dibagi dalam dua kelompok yakni ayam asli dan ayam ras. Ayam lokal di dunia berasal dari ayam hutan yang seluruhnya terdiri dari empat spesies. Yakni ayam hutan merah/red junglefowl (Gallus gallus), ayam hutan abu-abu/grey junglefowl (Gallus sonnerati), ayam hutan India/ayam hutan Sri Lanka/junglefowl (Gallus lafayetii), dan ayam hutan hijau/green junglefowl (Gallus varius). Yang disebut terakhir hanya ada di Indonesia dan dijadikan tetua ayam bekisar. Sedangkan ketiga spesies lainnya didomestikasi untuk memperoleh daging dan telurnya.

Dalam sejarahnya, domestikasi ayam di dunia diperkirakan pertama kali terjadi sekitar 6000 tahun Sebelum Masehi di sekitar Sunga Kuning, Henan, China. Menyusul kemudian di Lembah Hindus, India, selanjutnya menyebar ke kawasan Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Asia Timur. Maksud awal domestikasi ayam adalah menyediakan ayam sabung bagi kerajaan, yang berkembang sebagai bagian ritual pemujaan dengan persepsi lambang keperkasaan untuk ayam jantan dan lambang kesuburan bagi ayam betina.

Sumber : http://www.sinartani.com

Selengkapnya...

ARANG HAYATI UNTUK KESUBURAN TANAH DAN MENGURANGI EMISI CO2

Arang hayati atau biocharcoal disingkat biochar secara sporadis dan terbatas sudah digunakan masyarakat kuno untuk menyuburkan tanah. Belakangan ini sudah pula dibuktikan bahwa penambahan biochar ke dalam tanah bisa mengurangi emisi gas rumah kaca CO2 dan lainnya ke atmosfir.

Dunia iptek modern sudah sejak awal abad ke 20 mulai meneliti pengaruh biochar terhadap pertumbuhan tanaman. Penggunaan arang hayati sebagai penyubur tanaman sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat kuno di berbagai kawasan.


Dalam buku kuno Jepang abad 17 biochar disebut sebagai pupuk api. Di Indonesia, masyarakat pedesaan sudah sejak lama menggunakan arang kayu atau lainnya sebagai sumber energi dan perbaikan kesuburan tanah pada tingkat terbatas. Namun masyarakat modern baru menyadari benar manfaat dari biochar setelah penemuan tanah hitam yang subur di lembah Amazon, Amerika Selatan.

Tanah hitam Amazon yang disebut sebagai terra preta itu terbentuk sejak lebih dari 2000 tahun lalu oleh kebiasaan masyarakat membakar biomasa dan membenamkannya ke dalam tanah. Tanah yang dikelola bangsa Ameridian antara 500-2500 tahun lalu itu mempertahankan kandungan karbon organik dan kesuburan yang tinggi, bahkan beberapa ribu tahun setelah ditinggalkan penduduk setempat. Sumber bahan organik tanah tersebut dan retensi hara yang tinggi ternyata disebabkan kandungan karbon hitam (biochar) yang tinggi. Sedangkan tanah asam di sekitarnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah.

Hal tersebut diungkap kembali oleh Dr. Anischan Gani, peneliti senior pada Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi dalam satu seminar di Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Dijelaskan, karbon hitam yang banyak itu hanya dapat berasal dari pembakaran tak sempurna biomasa karbon. Bisa dari kayu dapur atau mungkin juga dari pembakaran oleh penduduk di lahan.

Dari studi literaturnya, Dr. Anischan mengutarakan biochar dapat menambah retensi air dan hara tanah dan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara. Efek peningkatan kandungan karbon dalam tanah lebih permanen pada penambahan biochar dibanding penambahan bentuk-bentuk bahan organik atau pemupukan lainnya.

Manfaat biochar yang banyak dalam tanah ternyata pula lebih dari hanya sekedar sebagai penyubur tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman. Hasil-hasil penelitian belakangan ini membuktikan biochar sebagai alternatif unik dan menjanjikan bagi perbaikan lahan pertanian dan mengurangi emisi gas rumah kaca CO2 dan lainnya ke atmosfir. Biochar juga lebih persisten dalam tanah sehingga bisa menjadi pilihan utama sebagai sink yang sangat potensial bagi CO2 atmosfir.

Sumber : http://www.sinartani.com
Selengkapnya...

Pengunjung

Waktu Sholat

Arsip

 

Copyright © 2009 by Dunia Pertanian Indonesia